Oleh : Alief
Reza Kurnia C.
Abstrak
Ketika
mendengar istilah “Ekonomi Syariah”, yang muncul di benak para pegiat ekonomi
syariah seringkali berputar di masalah perbankan, yaitu antara bank
konvensional dan bank syariah, antara riba dan bunga. Kalau bukan masalah
perbankan, kemungkinan besar yang muncul adalah pembahasan lembaga-lembaga
keuangan syariah atau hukum-hukum mengenai berbagai aktivitas ekonomi apakah
suatu transaksi ekonomi diperbolehkan atau tidak dalam ilmu fiqh muamalah. Hal
itu semua tidaklah salah karena memang demikianlah inti dari ilmu ekonomi
syariah, namun seringkali belum disadari bahwa Masjid, khususnya pada manajemen
keuangan Masjid, juga membutuhkan sentuhan para pegiat ekonomi syariah, pegiat
dalam hal ini bukan hanya para sarjana, master, ataupun doktor ekonomi syariah,
termasuk juga para mahasiswa ekonomi syariah yang merupakan bibit-bibit pejuang
ekonomi syariah. Keuangan Masjid jika dikelola dengan profesional, maka akan
tercipta dana umat yang cukup menjanjikan.
Pendahuluan
Ketika
Nabi SAW. memilih masjid sebagai langkah pertama membangun masyarakat madani,
konsep masjid bukanlah hanya sebagai tempat sholat, atau tempat berkumpulnya
kelompok masyarakat (kabilah) tertentu, tetapi masjid sebagai majelis untuk
memotivasi atau mengendalikan seluruh masyarakat (Pusat pengendalian
masyarakat). Secara konseptual masjid juga disebut sebagai Rumah Allah
(Baitullah) atau bahkan rumah masyarakat (bait al jami’).
Bersamaan
dengan perkembangan zaman, terjadi ekses-ekses dimana bisnis dan urusan duniawi
lebih dominan dalam pikiran dibanding ibadah meski di dalam masjid, dan hal ini
memberikan inspirasi kepada Umar bin Khattab ra. untuk membangun fasilitas
dekat masjid, dimana masjid lebih diutamakan untuk hal-hal yang jelas makna
ukhrawinya, sementara untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih berdimensi
duniawi, Umar ra. Membuat ruang khusus
di samping masjid.
Fenomena Masjid
di Masa Sekarang
Melihat
secara umumnya masjid di masa sekarang, terutama di hal kepengurusan identik
dengan seorang Imam, khotib, muadzin, dan pengurus lain atau biasa disebut Ta’mir
masjid. Ta’mir biasanya adalah orang yang sudah sepuh yang tidak memiliki latar
belakang keilmuan yang cukup untuk mengelola keuangan secara profesional dan
syariah. Yang menjadi persoalan adalah masalah pengelolaan keuangan masjid
biasanya dikelola secara apa adanya sesuai perolehan infaq. Padahal rata-rata
perolehan infaq sebuah masjid hanya satu minggu sekali, yaitu pada saat Sholat
Jumat, itupun tidak seberapa. Perhitungan sederhananya adalah jika pada saat
sholat Jumat, jamaah yang hadir sekitar 200 orang, dan diasumsikan semua jamaah
mengisi kotak infaq yang umumnya sebesar Rp 1000. Maka total pemasukan setiap
Jumat adalah 200 x Rp 1000 = Rp 200.000, dikali 4 minggu maka menjadi Rp 800.000.
Dana sebesar itu maka hanya cukup untuk membiayai kebutuhan operasional
sehari-hari seperti listrik, air, maupun upah para marbot masjid. Lalu
bagaimana jika masjid membutuhkan dana besar misalkan untuk renovasi
besar-besaran? Yang terjadi adalah, pengurus masjid akan pontang-panting
mencari sumbangan kesana-kemari, sehingga akan muncul kesan dari umat agama
lain bahwa umat Islam identik dengan peminta-minta. Yang lebih memprihatinkan
dari itu adalah masjid menjadi hanya sekedar tempat untuk sholat jamaah tanpa
dapat meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Di sinilah dibutuhkannya peran
ahli keuangan khususnya para ekonom syariah sebagaimana mereka mengelola sebuah
bank Syariah ataupun lembaga keuangan lainnya.
Sebuah
Terobosan untuk Ekonom Syariah
Menjadi
ekonom syariah tidak hanya berkutat pada area perbankan saja, namun para ekonom
syariah juga dituntut untuk menjadi pengurus masjid dalam bidang pengelolaan
keuangan. Terutama adalah dalam hal zakat, infaq, ataupun wakaf dan hibah. Semuanya
harus dikelola secara profesional sebagaimana bank syariah, BMT, dsb. Namun,
selain daripada sumber dana itu, sebuah masjid juga dapat mendapatkan sumber
dana lain, tidak dapat dipungkiri bahwa jika kas masjid hanya mengandalkan dari
infaq saja tidaklah cukup, harus ada terobosan baru. Salah satunya adalah
sumber dana yang ditarik dari para jamaahnya.
Jamaah masjid terbagi menjadi 2,
yaitu :
1.
Jamaah
tetap, adalah mereka yang rutin mengikuti sholat fardhu setiap hari, mereka
adalah yang bertempat tinggal dekat dengan masjid.
2.
Jamaah
tidak tetap, adalah mereka yang tidak rutin setiap hari mengikuti sholat
fardhu, biasanya mereka bertempat tinggal lebih jauh dari masjid.
Yang
dapat menjadi sumber pendanaan tambahan adalah para jamaah tetap. Ta’mir masjid
harus memiliki database yang akurat mengenai semua jamaah tetapnya. Dari
setiap jamaah yang terdata maka diwajibkan
untuk membayar iuran rutin diluar infaq dan iuran pembangunan. Penggunaan dana
ini dapat digunakan untuk kebutuhan intern maupun ekstern.
Misalkan
sebuah Masjid memiliki jamaah tetap sejumlah 40 orang, dari setiap mereka
diwajibkan untuk menyetorkan dananya sebesar Rp 1000 setiap hari, sehingga
dalam satu bulan akan terkumpul 40 x Rp 1000 x 30 hari = Rp 1.200.000.
Penggunaan
dana untuk kebutuhan intern ditetapkan berdasar hasil musyawarah antara jamaah
tetap, baik untuk keperluan pembiayaan aktivitas memakmurkan masjid yang murni maupun untuk meningkatkan
kesejahteraan anggota jamaah tetap ataupun yang terkena musibah maupun yang
sedang dalam kesulitan hidupnya karena kemiskinan dan kefakiran dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari ataupun untuk aktivitas lainnya seperti
pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Misalkan
ada jamaah yang mengalami kesulitan ekonomi dan berinisiatif untuk
berwirausaha. Maka dana masjid tersebut dapat digunakan sebagai pinjaman modal
untuk berwirausaha sebesar Rp 500.000. Akad yang digunakan adalah akad Qardhul
hasan, si peminjam diwajibkan mengembalikan dananya secara utuh tanpa
tambahan atau riba dengan cara mencicil, misalnya sebesar Rp 2000 per hari yang
diperkirakan tidak akan memberatkan si peminjam.
Untuk
kepentingan ekstern misalnya ada umat Islam dari wilayah lain membutuhkan dana
untuk pembangunan masjid dapat mengajukan permintaan kepada pengurus masjid.
Masjid yang terbangun dari dana masjid lain diwajibkan untuk mengembalikan
dananya, tentunya tanpa tambahan yang mengakibatkan riba. Masjid baru tersebut
juga dapat menggunakan sistem penarikan dana wajib kepada jamaah tetapnya.
Itu
semua belum termasuk pada pendapatan dan pengelolaan dana utama seperti zakat,
infaq, dan shodaqoh. Kesemuanya harus dikelola dengan profesional sebagaimana
pengelolaan pada bank Syariah maupun Lembaga keuangan Syariah lainnya. Tentu
para ekonom syariah-lah yang harus berperan, ekonom syariah ini dapat bekerja
dengan menjadi Ta’mir masjid, dimana upah kepada mereka dapat diambil dari dana
jamaah tadi. Sehingga masjid bukan saja dapat bermanfaat untuk tempat sholat,
namun juga dapat menjadi pusat perekonomian umat Islam.
Satu
hal yang harus diperhatikan dari konsep ini adalah menjawab tuduhan munculnya
istilah “komersialisasi ibadah”. Hal ini jelas salah karena dana yang ditarik
kepada jamaah akan kembali pula bermanfaat untuk mereka, dan jamaah tidak
dipungut biaya atas ibadah mereka, melainkan atas tanggung jawab tempat ibadah
mereka. Sama seperti ibadah Haji yang membutuhkan biaya puluhan juta rupiah
bukan berarti bentuk komersialisasi ibadah, melainkan untuk fasilitas mereka
sendiri. Dengan niat yang tulus serta
tekad yang kuat dari pegiat ekonomi syariah, diharapkan akan menjadi pelopor
umat Islam untuk semakin memakmurkan Masjid, bukan hanya sebagai pusat Ibadah
saja melainkan juga pusat perekonomian masyarakat. Wallahu alam bi showab.
DAFTAR
PUSTAKA
Amiruddin, Teuku dan Supardi. 2001. Konsep
Manajemen Masjid : Optimalisasi Peran
Masjid. Yogyakarta : UII Press.
Aziz, Abdul dan Mariyah Ulfah. 2010.
Kapita Selekta Ekonomi Islam Kontemporer. Bandung : Alfabeta.